Labuan Bajo, Infomabar-Bupati Manggarai Barat (Mabar) Edistasius Endi mengatakan bahwa saat ini Labuan Bajo telah menjadi icon pariwisata dunia. Banyak wisatawan baik manca Negara maupun domestik datang untuk menikmati keindahan alam Labuan Bajo. Menurut Bupati Edi selain menikmati keindahan alam Labuan Bajo, ada kecendrungan para wisatawan menggemari wisata atraktif seperti Caci, Danding, Sanda, Mbata ataupun tari-tarian lainnya. Hal ini dapat terlihat dari tingkat kunjungan wisatawan yang cendrung meningkat pada desa-desa wisata dan kampung-kampung yang sedang menyelenggarakan atraksasi budaya seperti Caci.
“Ditengah kondisi Labuan Bajo Manggarai Barat yang telah menjadi icon pariwisata dunia, para wisatawan yang datang itu tidak hanya datang untuk menikmati keindahan alam di Labuan Bajo tetapi semakin ke sini ada kecendrungan mereka mau menikmati wisata atraktif apakah itu Caci, Danding dan tari-tarian sedang digemari, ujar bupati Edy saat menghadiri dan menyaksikan pementasan atraksi budaya Caci dalam rangka acara Penti Weki Peso Beo (Syukuran atas seluruh hasil karya warga kampung) dan acara Songko Lokap (Peresmian Rumah Adat) Kampung Lasang, di Lasang, Desa Benteng Suru Kecamatan Kuwus, Kamis (11/07/2024).
Adapun rangkaian acara Penti Weki Peso Beo (Syukuran atas seluruh hasil karya warga kampung) dan acara Songko Lokap (Peresmian Rumah Adat) Kampung Lasang berlangsung sejak tanggal 8 s/d 12 Juli 2024.
Disampaikan Bupati Edy atraksi budaya Caci merupakan warisan budaya leluhur yang memperekat rasa persatuan dan kesatuan. Dua pihak yang saling beradu ketangkasan dalam atraksi Caci pada akhirnya tidak ada yang menang tidak ada yang kalah, sebaliknya terjadi hubungan persaudaaran yang erat (Woe Nelu) yang selalu dikenang, inilah kelebihan atraksi budaya Caci, ujar bupati Edy.
Bupati Edy dalam kesempatan ini juga menyampaikan apresiasinya kepada masyarakat Manggarai Barat terutama masyarakat kampung Lasang yang masih memegang teguh adat istiadat warisan leluhur Manggarai dengan menggelar atraksi budaya Caci dalam rangka Penti Weki Peso Beo (Syukuran atas seluruh hasil karya warga kampung) dan acara Songko Lokap (Peresmian Rumah Adat) Kampung Lasang.
Dirinya meminta agar masyarakat berkomitmen untuk terus mewariskan budaya Manggarai hingga anak cucu.
“Tentu atas nama pribadi dan atas nama Pemerintah kami menyampaikan profisiat dan selamat kepada segenap keluarga yang sama-sama mempunyai niat yang satu dalam melestarikan budaya, tentu harapannya bahwa budaya yang telah diwariskan oleh para leluhur kita tidak hanya berhenti di generasi yang saat ini kami menyapa sebagai bapak, sebagai kae-kae ngaso (kakak-kakak sulung), tentu menjadi tanggungjawab kita semua berkomitmen mewariskan kepada anak dan cucu-cucu kita, sehingga sampai kapanpun budaya Manggarai tidak akan pernah akan habis habisnya,” ujarnya.
Adapun Caci itu sendiri secara harfiah diartikan: Ca artinya satu, Ci artinya tanding/uji. Jadi Caci adalah tanding satu lawan satu. Secara umum Caci adalah atraksi budaya Manggarai yang melibatkan dua kelompok dari dua kampung. Kampung tuan rumah disebut Mori Tana sedangkan yang diundang disebut mori landang (Lazim disebut meka landang). Masing-masing kelompok dua kampung tersebut mengutus pria-pria terbaiknya (Laki Manggarai) untuk kemudian bertarung/bertanding satu lawan satu dalam satu arena (halaman kampung) dengan menggunakan larik (Cemeti) untuk mencambuk dan Nggiling (Perisai) dan Koret atau agang untuk menangkis. Kedua pria (laki Manggarai) saling menyerang dan menangkis secara bergantian yang diselingi dengan nyayian (dere) dan pekikan julukan (rait) diringi bunyian gong dan gendang yang membuat suasana semakin meriah. Caci terinpirasi dari Perang tanding. Konon sering terjadi perang tanding di bumi Manggarai karena perebutan kekuasaan dan perebutan batas wilayah atau perebutan lingko (Kebun). Ketika perang berakahir kemudian nenek moyang Manggarai menciptakan Caci.
Sementara itu, Ketua umum acara Penti Weki Peso Beo dan Songko Lokap Gendang Lasang Wenseslaus Ano menjelaskan bahwa pada tahun 2024 ini Kampung Lasang menggelar dua acara budaya yang sangat penting dan penuh makna bagi warga kampung Lasang. Kedua acara ini dijalankan dengan ritus adat yang sakral dalam nada syukur penuh riang dan gembira. Karena itu Panitia juga menyelenggarakan atraksi budaya Caci sebelum acara Penti Weki Peso Beo dan Songko Lokap.
Dijelaskannya bahwa Penti Weki Peso Beo yang dilaksanakan oleh masyarakat kampung Lasang merupakan wujud syukur dan terimakasih kepada Tuhan melalui para leluhur atas karunia dan berkat Tuhan atas segala hasil karya yang telah diterima selama tahun berjalan atau tahun-tahun sebelumnya.
Dijelaskannnya pula bahwa sebelum semua ritus adat dalam acara Penti Weki Peso Beo itu dilaksanakan, terlebih dahulu dilaksanakan acara ritual Podo Tenggeng. Ritual Podo Tenggeng merupakan ritual pembersihan diri, membuang semua keburukan, kegagalan, kepincangan dan berbagai kekurangan yang dilakukan di pertemuan dua aliran sungai dekat kampung Lasang. Dalam ritus Podo Tenggeng ini dikurbankan seekor babi kecil dan ayam kecil berbulu hitam. Kemudian warga kampung Lasang juga membawa semua perabotan rumah dan dapur yang rusak, seperti ranjang rusak, bakul rusak, priuk rusak, kuali rusak, baju bekas sebagai symbol kepincangan dan kekurangan ekonomi. Semuanya dibuangan dipertemuan dua sungai atau Sunga dalam bahasa setempat.
“Sebelum warga kampung Lasang melaksanakan Penti Weki Peso Beo, ada satu ritual yaitu Padong atau Podo Tenggeng. Itu artinya membuang semua kekurangan, membuang semua kesalahan, membuang dosa-dosa baik dosa pribadi maupun dosa-dosa kampung. Sehingga memasuki acara Penti Weki Peso Beo kita semua bersih,” ujarnya.
Ditambahkannya pula, dalam acara Penti Weki Peso Beo ada beberapa ritus Barong yang dimaksudkan untuk mengundang para Roh untuk hadir dalam acara Penti Weki Peso Beo. Beberapa ritual tersebut antara lain Barong Lodok (Kebun), Barong Wae (Mata Air), Barong Boa (Kuburan), Barong Sompang (Altar persembahan). Setelah dari Sompang warga kampung lasang menuju Wae Owak (altar persembahan) masing-masing suku/klan. Setelah ritus barong, kemudian ritus Takung Makok Mehe (Pemberian makan para leluhur) di Mbaru Gendang (rumah adat) yang dilanjutkan di kilo (keluarga) masing-masing.
Selanjutnya dilakukan Sanda Lima. Sanda artinya mendendangkan lagu khas Manggarai, Lima artinya Lima unsur kehidupan orang Manggarai yaitu, Gendang (rumah adat), Lingko (Kebun), Wae Teku (sumber/mata Air), Sompang (altar persembahan), Natas Labar (halaman Kampung). Jadi Sanda Lima merupakan lantunan lagu khas Manggarai yang melantunkan lima usur yakni Gendang, Lingko, Wae Teku, Compang dan Natas. Lantunan Lagu ini dilakukan dengan hentakan kaki dan mengintari Bongkok (tiang utama Rumat Gendang). Sanda Lima dilakukan hingga pagi subuh. Ketika sudah dilakukan Sanda Lima, dilakukan tudak Penti sebagai puncak dari seluruh acara Penti Weki Peso Beo. Dalam ritus Puncak ini banyak doa yang dipanjatkan dengan harapan akan kesehatan dan rezeki yang melimpah pada tahun berjalan maupun tahun yang akan datang. Hewan yang dikurbankan adalah seekor ayam dan Babi.
Lebih lanjut, Wenseslaus Ano menjelaskan acara Songko Lokap Gendang Lasang dilakukan karena rumah gendang yang baru selesai dibangun menggantikan rumah gendang lama yang lapuk termakan usia. Songko artinya memungut, Lokap artinya serpihan kayu atau kotoran lainnya. Jadi Songko Lokap dapat diartikan memungut atau membersihkan semua serpihan atau kotoran selama membangun rumah adat.
Dalam konteks budaya Manggarai, ritus Songko Lokap juga dimaknai sebagai ritus membersihkan dan membuang semua sikap atau prilaku warga yang tidak baik.
Segala macam kotoran dalam pengertian fisik maupun kotoran dalam pengertian sikap dan prilaku warga dibersihkan dengan ritus mengorbankan seekor kerbau jantan yang dalam bahasa setempat disebut ritus poka bokak kaba songko lokap. Dan setelahnya ditutup dengan ritus Songko Laha yakni ritus pembersihan darah semua hewan korban selama acara Songko Lokap berlangsung.
Dengan selesainya Ritus adat Songko Lokap, Rumah Gendang Lasang secara resmi bisa digunakan untuk menjalankan fungsinya sebagai pusat semua kegiatan dan pelaksanaan ritus budaya dilaksanakan.
Seluruh Rangkaian Acara Penti Weki Peso Beo dan Songko Lokap Gendang Lasang ditutup dengan Perayaan Ekaristi dengan menggunakan bahasa Manggarai yang dipimpin oleh Romo Ino Sutam, seorang imam Keuskupan Ruteng sekaligus Akademisi dan Budayawan Manggarai bersama Pastor Paroki Ranggu Romo Laurentius Saya, dan Tiga Imam asal Kampung Lasang yaitu Romo Albertus Ngamal yang saat ini bertugas di Paroki Rentung Keuskupan Ruteng, Romo Robertus Pelita yang bertugas di paroki Robek Keuskupan Ruteng dan Romo Simeon Yulianus Pidang yang saat ini bertugas Paroki Katedral Keuskupan Sibolga.
(Infomabar: Tian Candra)